Welcome to iniadalahcurhatku.blogspot.com | Please do not copy anything, hargai karya orang lain. Thankyou.

Senin, 25 Februari 2013

That Stupid Moment

Kak N: "Kamu yang namanya Nindi ya?"
Aku: "Bukan, Ninda"
Kak N: "Oalah, calon pacarnya Seth ya?"
Aku: "Hah? Bukan kak"
Kak N: "Tapi yang sering diejekkin itu kan?"
Aku: "Hehe iya kak" *ketawa maksa*

Lelah Dengan Yang Ada

Aku lelah. Dengan semua omong kosong ini. Drama ini. Senyum ini. Orang-orang ini. Muak dengan semua ceria palsu yang ada. Mungkin sudah tidak ada yang perlu aku pertahankan lagi. Tidak berguna. Semua hanya akan sia-sia saja.

Aku tak sabar ingin buru-buru kenaikan kelas. Lepas dari ini semua. Lepas dari jeratan orang-orang yang haus akan kekuasaan. Tidak semua. Hanya beberapa. Manusia-manusia egois yang menganggap dirinya populer merusak segalanya. Muak dengan drama-drama yang mereka ciptakan. Masalah baru kian muncul. Masalah kecil pun harus dibesar-besarkan.

Aku lelah bertemu mereka. Beberapa dari mereka teman-teman terbaikku, tapi ada beberapa dari mereka yang... Sudahlah. Disatu sisi aku tak ingin kehilangan teman-teman yang aku sayangi. Tapi di sisi lain aku sudah muak dengan segala omong kosong orang-orang itu.

Minggu, 03 Februari 2013

Re-post 2011: Percakapan Antara Cinta Dan Agama

"Ketika aku dan kamu berbeda dimensi, saat itulah sebuah perasaan bertemakan cinta muncul menyatukan segala perbedaan dimensi diantara kita"

Salwa: "Bagaimana hubunganmu dengan si gigantisme tampan itu?"
Aku: "Maksudmu kekasihku? Baik-baik saja"
Salwa: "Ah si Protestan itu"
Aku: "Ya, dia memang religius"
Salwa: "Lalu, bagaimana bisa kau sangat mencintainya? Kau kan Islam, dia Protestan"
Aku: "Aku mencintainya. Bagaimanapun apa adanya, seburuk atau sebaik apapun tingkahnya"
Salwa: "Ah, kau terlihat munafik. Ini seperti bukan dirimu"
Aku: "Aku tidak munafik. Tetapi si Protestan lah yang mengajariku tentang perbedaan dimensi"
Salwa: "Oh ayolah, gunakan akal sehatmu. Islam dan Protestan itu sangat berbeda bukan?"
Aku: "Memang berbeda. Tapi aku mencintainya. Mengalir begitu saja"
Salwa: "Kau serius dengannya?"
Aku: "Berusaha serius walaupun dia cuek, sibuk dan begitu menyebalkan"
Salwa: "Lalu jika kalian berdua dipersatukan dalam sebuah ikatan suci bertemakan pernikahan, bagaimana?
Aku: "Dia harus ikut agamaku"
Salwa: "Kau egois sekali"
Aku: "Aku berpegang teguh pada agamaku, apa itu salah?"
Salwa: "Entahlah"
Aku: "Lalu bagaimana denganmu? Hubunganmu dengan si British itu?"
Salwa: "Aku mencintainya, sama seperti kau mencintai si Protestan itu"
Aku: "Cinta memang tak memandang agama, tapi kadang cinta gagal menyatukan agama walau mereka saling jatuh cinta."
Salwa: "Oh serumit itukah?"
Aku: "Memangnya kapan sebuah cinta bisa menjadi sederhana?"
Salwa: "Terang tidak dapat bersatu dengan gelap, seperti air dan api. Mereka tak dapat saling menggantikan dan melengkapi."
Aku: "Padahal, jika kita jatuh cinta, agama punya salah apa?"
Salwa: "Setahuku, dalam cinta tidak ada yang salah. Cuma soal waktu dan keadaan saja"
Aku: "Kalau kau tidak bisa mencintai Tuhan-nya, maka kau tak bisa mencintai dia."
Salwa: "Tidak ada istilah Tuhan-ku dan Tuhan-nya. Tuhan itu satu. Dia Esa."
Aku: "Tuhan memang satu, hanya manusia dan ciptaanNya saja yang berbeda"
Salwa: "Selama ini, kupikir dia yang terbaik"
Aku: "Kau hanya berpikir, belum mengetahui bagaimana realitasnya"
Salwa: "Kau serius dengannya?"
Aku: "Sejauh ini sih, iya"
Salwa: "Untuk dipersatukan dalam ikatan suci dihadapan Tuhan?"
Aku: "Ah.. Entahlah.."
Salwa: "Sebenarnya apa yang salah dari mencintai seseorang yang tempat ibadahnya berbeda dengan kita?"
Aku: "Aku belum berpikir sejauh itu. Lalu, apa agama si British itu?"
Salwa: "Muslim. Sama sepertiku."