Welcome to iniadalahcurhatku.blogspot.com | Please do not copy anything, hargai karya orang lain. Thankyou.

Jumat, 31 Mei 2013

Hilang [FLASHFICTION]



"Selamat ulangtahun ya sayang" ujar Serra menghampiriku sambil mencium pipi kanan dan kiriku.

"Makasih banyak Serra" jawabku sembari tersenyum, lalu Serra masuk ke dalam ruangan.

Malam ini adalah malam pesta perayaan ulangtahun sweet seventeen ku. Aku masih berdiri diluar ruangan pesta. Berdiri disamping banner besar bertuliskan 'Kiara's Sweet 17th'. Teman-temanku satu persatu mulai berdatangan. Ucapan selamat ulangtahun terus membanjiri ballroom hotel tempat aku merayakannya. Aku hanya bisa mengucapkan terimakasih dan tersenyum semampuku sembari melongok ke arah luar. Orang yang kutunggu belum juga menampakkan batang hidungnya. Orang itu.

Aku memutuskan untuk masuk ke dalam ballroom hotel yang sengaja ku desain berwarna serba merah karena waktu terus berjalan. Ikut berbaur dengan tamu-tamu yang ada. Teman-temanku, sahabat-sahabatku, saudara-saudaraku, adik-adikku, semua ada, kecuali satu. Orang itu. Mataku terus terpaku, menatap cemas pintu masuk, berharap dia berjalan memasuki ruangan ini, melalu pintu itu.

"Kiaraaa, happy sweet seventeen ya darling. I wish nothing but the best for you" ujar Bianca membuyarkan lamunanku.

"Thankyou sayang" jawabku sedikit memaksakan senyum.

Dan semua ini seperti bergerak sangat lambat. Aku berdiri mematung, di depan puluhan orang yang tertawa-tawa bahagia mereka dengan gaun pestaku. Aku memang tidak ingin membuat mereka terkesan. Mataku terus menatap setiap sudut dalam ruangan ini. Tetapi ada satu yang hilang. Dia tidak datang. Biarlah mereka berkata semaunya. Aku tak akan mendengar suara sumbang mereka. Karena mereka sama sekali tidak mengerti.

Setelah acara tiup lilin dan potong kue, aku keluar dari kerumunan. Aku hanya ingin sendiri saat ini. Kamar mandi menjadi tujuan utamaku. Aku menatap refleksi diriku di cermin. Berusaha semampuku untuk tidak jatuh, air mataku tergenang dipelupuk mata. Menunggu untuk menjatuhkan dirinya.

"Kiara, are you ok?" tanya sebuah suara. Ternyata itu Yarra, sahabatku.

Aku memunggunginya, mengacungkan tangan kananku dan jariku membentuk tanda bahwa semuanya baik-baik saja. "Everything's okay Yar"

"I know you're not Ra, i'm your bestfriend" timpalnya. Aku menangis. Aku tidak dapat menahan air mataku lagi. "Apa dia benar-benar akan datang Ra?" lanjutnya

"Dia bilang, dia bakal datang" ujarku putus asa

Apa yang bakal kamu lakukan ketika airmatamu menetes di pipimu di depan orang-orang yang kamu kenal? Dan orang-orang itu memasang tampang iba padahal saat itu seharusnya adalah hari bahagiamu? Apa yang bakal kamu lakukan ketika orang yang sangat berarti bagimu dan sangat kamu sayangi adalah satu-satunya orang yang tidak datang di hari bahagiamu? Bahkan mungkin lupa dengan hari ulangtahunmu?

Seharusnya kamu ada disini, Fauzan. Seharusnya kamu berdiri di depan pintu itu, dengan senyum khasmu yang sangat aku suka. Dan seperti ribuan bintang, aku merasa sangat bahagia malam ini. Seharusnya kamu adalah orang pertama yang mengucapkan selamat ulangtahun. Tapi, salahkah aku berharap banyak pada hari ulangtahunku? Aku hanya berharap kamu ada disini, disampingku Fauzan.

Dan aku akan sangat merasa bahagia. Ini sekedar pengharapan nyata.

Tapi tidak kali ini. Aku kecewa, Fauzan.


The Moment I Knew - Taylor Swift

Minggu, 26 Mei 2013

Barcelona Girl [FLASHICTION]



Aku memutar bola mata lalu menghela nafas panjang. Pandanganku tersita kearah utara di seberang lapangan basket. Apa yang kali ini aku lihat benar-benar membuatku muak. Tidak seharusnya perasaan muak ini muncul. Aku sudah berkali-kali mengingatkan pada diriku sendiri untuk berpikir secara rasional. Tapi tidak untuk kali ini, aku sudah terlanjur muak. Aku cemburu.

Aku berjalan menyusuri koridor sekolah sambil merapatkan jaket berlambangkan klub bola FC Barcelona. Jaket itu pemberian Reihan, sahabatku. Beranjak dari tempat nyamanku karena melihat pemandangan yang menurutku menyebalkan. Yang baru saja aku lihat adalah Reihan dengan Megan. Mereka terlihat jalan berdampingan sembari tertawa. Aku dan Reihan memang menyukai klub bola yang sama, Barcelona. Tapi beberapa waktu terakhir ini dia lebih menyukai Bayern Munchen. Dia telah berubah, dan menjauh. Aku sendiri tidak mengerti.

Aku tau, aku bukanlah orang pertama dan satu-satunya baginya.
Perhatian Reihan bukan hanya untukku.
Aku hanya sahabat Reihan, tidak lebih dari itu. Aku tau itu.

Kali ini aku mencoba untuk lebih tegar. Reihan bersikap manis bukan hanya untuk aku, seorang Bevinza Carmen tetapi kepada semua orang yang ada didekatnya. Termasuk Megan. Teman satu kelasnya sendiri. Padahal, dulu kami sangatlah dekat. Kami adalah sahabat dekat. Tapi semenjak......

"Bev, ngapain lo disini?" seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku menoleh. Ternyata Deva. Teman sekelasku.

Aku melepas earphone ku "Gue lagi bete aja" jawabku acuh

"Gue tau, pasti... Reihan kan?" tebaknya cengengesan.

"Eumm.. As you see..." ujarku

Deva menatapku "Trus akhir-akhir ini gue liat, dia mulai pindah hati ke Bayern Munchen deh, padahal gue tau dari dulu dia cinta mati sama Barcelona. Kenapa?"

"Gue nggak tau, bosen kali sama Barcelona. Lebih-lebih mungkin dia bosen sama gue Dev" ujarku

"Friendzone banget. Coba lo ngomong apa yang lo perlu omongin sama dia" usul Deva. Aku menatapnya dalam diam.

***

Kalau saja aku lebih berani, aku ingin Reihan tau bahwa aku sangat menyayanginya. Kalau saja aku bisa lebih jujur padanya, mungkin dia masih ada disisiku saat ini. Siang ini, kantin tidak terlalu ramai. Aku melihat untuk memastikan bahwa Reihan ada di kantin. Dan benar, ia masih disitu. Tempat favorit kami. Aku berusaha untuk tetap tersenyum lalu berjalan ke arahnya.

"Rei..." panggilku lirih, ia menoleh. Menatapku tanpa suara.

"Bev?" ia sedikit tersentak

"Ada yang perlu gue bicarain sama lo" lanjutku. Ia mempersilahkanku duduk.

Kami sama-sama terdiam "To the point aja ya.." ujarku. "Lo.. Lo kenapa ninggalin Barcelona setelah lo lama bersama dia?" lanjutku

"Gue nggak ninggalin Barcelona, gue cuma berusaha untuk menyukai hal lain sekarang. Awalnya gue ragu dan takut, tapi lalu gue berfikir Bayern Munchen nggak buruk. Sama bagusnya dengan Barcelona" jelasnya.

"Yang mau gue omongin sebenernya bukan Barcelona ataupun Munchen. Tapi kita Rei... Kita! Kita ini sebenernya kenapa Rei? Lo kenapa Rei? Kenapa lo menjauh setelah lo tau gue sayang sama lo lebih dari sahabat? Apa gue salah Rei?" tanyaku beruntun

Rei terdiam. Ia tidak menjawab pertanyaanku "Dari awal, gue udah takut lo punya perasaan lebih itu"

"Rasa itu nggak bisa dipersalahkan, ia datang dengan sendirinya tanpa kita tau Rei" jawabku

"Gue tau lo sayang sama gue. Gue juga Bev. Gue sayang sama lo. Tapi gue nggak bisa kasih lo lebih dari ini. Gue belajar dari lo, kalo setiap cinta itu butuh kepastian Bev. Dan gue belum bisa kasih itu ke lo" ujarnya

Banjir bergerumul di pelupuk mata. Aku menahannya untuk tetap jatuh. "Gue tau Rei, ini pasti sulit. Terjebak di situasi friendzone kayak gini. Tapi tolong Rei, jangan pernah tinggalin Barcelona lagi"

"Maafin gue kalo akhirnya jadi kayak gini. Gue masih pengen kita sahabatan kayak dulu lagi..." ia terdiam. Lalu melihat lambang FC Barcelona di jaketku. "Ini....... jaket yang........"

"Ini jaket yang pernah lo kasih sama gue, dulu" potongku, tersenyum walau aku masih menahan untuk tidak menangis

"Lo... lo masih pake?" tanyanya

"Karena gue masih pengen jadi Barcelona-Girl lo. Boleh kan Rei?" ujarku

"Dan sampai kapanpun, lo akan tetap menjadi Barcelona-Girl gue, sahabat gue, Bevinza" ujar Reihan

"Cintai Barcelona lagi ya? Gue mohon" aku menatapnya memohon. Reihan mengangguk sembari tersenyum.



Yogyakarta, 26 Mei 2013

Minggu, 19 Mei 2013

Rewind Button [FLASHFICTION]



Mengapa mencintaimu begitu sulit? Kamu sulit untuk kuraih dan kugapai.

Aku terdiam. Terus menggigit bibir bawahku. Sudah beberapa jam terakhir ini aku duduk termenung disini menunggu langit berhenti menangis. Bersama kedua sahabatku, Liana dan Izhar. Bel pulang sekolah memang sudah sedari tadi berbunyi, tapi hujan deras meruntuhkan niatku untuk pulang ke rumah. Aku memandang ke arah lapangan basket. Anak-anak laki-laki penghuni asrama sekolah memunculkan diri untuk melaksanakan aksinya bermain bola. Aku terpaku. Bagiku, semuanya tak menarik.

Jam menunjukkan pukul setengah 5 sore. Semua sibuk dengan aktivitas masing-masing. Liana sibuk dengan laptopnya dan Izhar sibuk menonton bola. Aku? Tak ada yang kulakukan selain berdiam diri. Lalu, dengan tiba-tiba, sosok itu datang. Sosok yang kurindukan lewat tepat dihadapanku. Dia yang menggunakan baju merah, berjalan dengan santainya tanpa menyadari aku disitu.

"Alan...." aku  mendesis. Liana menoleh

"Dimana dia?" tanya Liana menatapku.

"Yang pake baju merah. Barusan lewat." jawabku tetap memandang kosong ke arah lapangan basket

Liana memiringkan kepalanya "Lalu, dia pura-pura tidak melihatmu? Atau dia memang tidak melihatmu?"

"Aku tidak tau. Aku sangat rindu padanya" kataku

"Aku tau itu" Liana kembali sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang ia mainkan

Tak berapa lama, sosok yang kunantikan itu lewat tepat dihadapanku lagi. Mustahil jika kali ini dia tidak melihatku. Aku merindukan segala hal yang ada pada dirinya. Cara berjalannya yang khas, senyumnya yang tulus, rambut ikalnya. Alan... Alan... Alan...

"Lan, kamu jangan lupa save nomer baruku ya" ujarku tersenyum sambil mensejajari langkahnya yang lebar menuju parkiran sekolah
Alan menoleh lalu berhenti berjalan dan menatapku "Emang kamu siapa? Aku pernah kenal ya sama kamu?"
"Jadi, nggak kenal nih? Oh yaudah" jawabku sambil melipat tangan di dada
Alan tertawa renyah melihatku cemberut "Kenalan dong makanya.." katanya. "Halo, aku Alan Bramantya. Dipanggil Alan. Sendirinya?" lanjutnya
"Aku Andania Renata. Panggil aja Dania. Hehehe" aku nyengir lebar
"Tuh temenku ada yang mau kenalan sama kamu Dan. Cie cie" ujarnya
Aku memiringkan kepalaku "Siapa Lan?"
"Kepo deeeeh" ia menjulurkan lidahnya
"Ih Alaaaaaaaann!" teriakku. Lalu ia berlari menghindari cubitanku

Kenangan-kenangan itu terus berlalu lalang dalam otakku. Memutar kembali memori-memori yang dulu pernah aku lewati bersama Alan. Seperti tombol rewind di film-film. Tapi aku sadar, ini bukan film. Kenangan itu akan terus menjadi kenangan.

"Daniaa!" teriak suara yang sangat kukenal
Aku menoleh "Apa?"
"Menurut kamu, anak futsal tuh gimana?" tanyanya cengengesan
"Jadi, kamu lari-lari kesini cuma tanya gituan?" aku kembali sibuk memainkan laptopku
"Jawab aja deh Dan. Anak futsal tuh ganteng-ganteng kan ya?" tanyanya menaikkan sebelah alisnya
Aku menghentikan pekerjaanku "hmm.. menurut aku sih emang ganteng-ganteng"
Dia tersenyum "Berarti aku ganteng dong"
"Kalo kamu ganteng, berarti aku cantik. Yeee" ujarku tak mau kalah
"Jangan ngaku cantik kalo belum pacaran sama anak futsal" katanya, air mukanya berubah serius
"Yang penting bukan sama kamu ya Lan. Hahahaha" ujarku mencubit pipinya
"Aku seriusan Daaaann" ujarnya cemberut membuatku semakin ingin tertawa

Sosok itu lewat kembali membuyarkan segala ingatanku. Ia kembali bersama teman-temannya. Alan sudah berganti baju dengan jersey berwarna biru dan berlogo Manchester United di dada kirinya, bercelana pendek, dan bersepatu bola. Ia memang tergabung dalam tim futsal sekolah. Hari ini dia latihan.

"Cie yang ultah. Happy birthday ya Alan. Semoga makin segalanya yang baik-baik, makin sukses dan keren main bolanya. Semoga tetep jadi Alan-nya Dania ya. Ehehehe" ujarku pada Alan
Alan tersenyum simpul "Yoiii, makasih ya Dania kecil. Ehehe"
"Fans-fans kamu ditwitter pada ngucapin tuh. Sana dibales, biar mereka seneng" aku nyengir kuda
"Aku lagi nggak twitteran nih. Kan aku lagi sama kamu Dan" Ia tersenyum lagi

"Dan? Dan? Dania...!!" suara cempreng Izhar membuyarkan lamunanku

"Hah? Iya Zhar?"

"Hujan udah berhenti tuh. Kamu nggak mau pulang emang?" tanya Izhar

Aku mendongak "Oh iya, kamu pulang sekarang Li?" tanyaku pada Liana

"Iya Dan, udah sore juga" jawab Liana

"Eh yaudah, aku pulang duluan ya Dan, Li" timpal Izhar berlalu pergi

Liana menoleh padaku "Kamu pasti habis ngelamunin Alan ya?"

"Siapa lagi Li" aku menunduk

"Kayak nggak ada cowok lain aja sih Dan, kamu nggak bisa gini terus" ujarnya

"Tapi aku sayang sama Alan, Li. Kamu nggak tau perasaan aku" kataku melemah

Liana menghela nafas "Kamu itu cantik Dan. Banyak cowok lain yang mau sama kamu. Mereka bisa kasih kamu kepastian."

Aku terus menunduk "Tapi cuma Alan yang aku tunggu. Cuma Alan yang mau aku perjuangin Li"

"Dania.. setiap hati itu butuh kepastian. Alan belum bisa kasih itu." ujarnya putus asa

"Aku percaya Alan bisa" aku menahan air mata yang membanjiri pelupuk mata.

Liana mendesah "Aku bingung sama jalan pikirmu Dan. Aku mau pulang dulu" Liana berjalan perlahan meninggalkanku yang terpaku. Siluet-siluet Alan terus berkelebatan dalam pikiranku.


Liana benar. Setiap hati memang butuh kepastian.

Kamis, 09 Mei 2013

Keterbatasanmu Kebagahiaanku [FLASHFICTION]



Wina-Austria, September 2012

"Bersamamu.. Semua jadi begitu bermakna. Biarkan ini menjadi nyata, bukan ilusi belaka, semoga..."

Gerimis sore ini datang begitu saja. Menebarkan bau khas dan hawa dingin yang menusuk pori-pori. Aroma kopi menyeruak ketika aku memasuki kedai kopi di sudut jalan selagi aku merebahkan diri mencari posisi nyaman di sofa empuk dekat jendela. Mendung hitam kian menggantung dilangit kota Wina. Memamerkan sketsa kemuraman mendalam yang membias disetiap jengkal jalanan yang ramai oleh pejalan kaki.

Sudah 2 tahun sejak aku memutuskan pindah ke Austria untuk melanjutkan kuliah seni ku dan meninggalkan berbagai macam kenangan-kenangan indah di Indonesia. Negara tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Menghantamku kembali ke masa-masa itu. Masa yang seharusnya tak kuingat-ingat lagi.

Ubud-Bali, Desember 2009

"Hey Kiara, kenapa wajahmu sedih? Bukankah ini malam tahun baru? Tidak sepantasnya kamu sedih, beberapa menit lagi, kita membuka lembar baru" Ujar sebuah suara tepat dibelakangku. Suara yang sangat ku kenal. Aku menoleh.

"Elang?" Lalu ia menyeringai lembut menampakkan gigi berpagarnya.

"Boleh aku duduk disini?" tanyanya sembari menepuk tempat kosong disebelahku. Aku mengangguk, kembali melihat bulan yang sepertinya ikut merasakan kepedihanku. Aku dan Elang terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Debur ombak memecah keheningan malam itu. Dadaku menyesak.

"Elang?"

"Hmm..."

"Aku... aku hanya ingin kau bersamaku selalu. Kamu adalah sahabat terbaikku. Aku selalu mencintaimu. Jangan pernah pergi" ucapku menahan isak tangis.

"Demi-mu aku mau. Demi-mu aku mampu. Untuk jadi 'rumah tujuan' untuk segala tawa dan tangismu" Elang menatapku dalam.

"Jangan pernah berjanji apapun Erlangga" jawabku sambil membuang muka. Merasakan rasa sakit di ulu hati seperti dihantam palu godam.

"Kenapa?" tanyanya dengan lugu.

"Aku hanya takut, kamu tidak dapat memenuhi janjimu sendiri. Aku tau kenyataan yang ada" ujarku

"Kiara, aku tau kita berbeda. Aku sangat tau kenyataan bahwa aku memiliki penyakit yang terus menggerogoti sistem kekebalan tubuhku. Dan aku sangat-sangat tau, dokter sudah memvonis umurku tidak lama lagi" jelasnya panjang lebar.

"Karena kita berbeda, makanya aku percaya kita saling cinta" jawabku

"Jadi, apa jawabanmu atas pertanyaan yang kuajukan 2 hari yang lalu padamu?" tanyanya penasaran.

"Aku mau jadi pacarmu." jawabku singkat

"Dengan segala keterbatasanku?" tanyanya lagi

"Iya. Bagaimana jika aku tolak sedangkan keterbatasanmu adalah segala kebahagiaan yang aku miliki? Cintaku tanpa alasan" Ia tersenyum simpul. Puluhan kembang api bersahut-sahutan menyala di langit yang pekat. Menyadarkanku bahwa kebahagiaan berjalan seiring dengan adanya kesedihan.

Ubud-Bali, Juli 2010

Aku dan Elang sudah berpacaran selama 6 bulan. Kini, Elang terbaring lemah di ranjang kecil kesayangannya. Aku melihatnya. Sendirian. Lalu Elang tersenyum separo kepadaku. Aku hanya terdiam. Elang menyuruh aku duduk disampingnya.

Aku membisu menatap Elang. Badannya semakin kurus dan melemah. Ia sudah tidak uasa menahan kejamnya penyakit AIDS yang terus menggerogoti tubuhnya. Sorot mata optimis dan semangat yang selalu ia tanamkan padaku sekarang menghilang. Airmata yang kubendung sedari tadi tumpah.

"Kiara.... kamu tau nggak apa yang paling bikin aku bahagia?" Elang tersenyum, matanya terus menerawang ke langit-langit kamarnya yang berwarna biru. Aku menoleh tidak menjawab, menunggunya untuk melanjutkan.

"Kau yang terbaik dan terindah di hidupku. Karena hanya kepada kamulah, cinta itu.... ingin ku awalkan dan ku akhirkan." lanjutnya

"Kamu mau kemana? Aku ikut" tanyaku polos

"Aku harus pergi, Kiara. Disuatu tempat yang jauh. Kamu tidak boleh ikut" jawabnya sembari mengusap-usap rambutku.

"Bohong! Kamu tidak boleh pergi! Bagaimana aku dapat hidup tanpamu? Padahal kucecap kebahagiaan ketika bersamamu!" Jeritku tertahan. Isak tangisku semakin keras. Genggamanku semakin mengerat.

"Terimakasih untuk senyum yang kau titipkan malam ini. Membasuh khawatirku tanpa perih, Kiara" Ia tersenyum. Perlahan sorot matanya meredup. Genggamanya terlepas dari tanganku. Ingin menangis tapi airmataku terasa habis. Ingin berteriak tapi tidak bisa. Ulu hatiku terasa ngilu, sesak.

Kubiarkan udara kosong yang mengapung diatas kepala, membawa serta gurat-gurat kesedihan senja kali ini. Pahlawan AIDSku pergi, dengan meninggalkan sejuta angan dan mimpi yang telah kubangun bersamanya. Walau aku tau, baginya itu takkan pernah menjadi nyata.

Wina-Austria, September 2012

Sejenak, desau roda kendaraan menyapu jalanan yang sepi. Menyadaranku dari kesendirian dan ingatan masa lalu. Sesaat aku terombang-ambing di sofa berwarna peach disudut kedai kopi ini. Bertanya untuk apa aku disini. Berada diantara ratusan pejalan kaki diluar sana melenggang bergandengan dengan menyungging senyum kebahagiaan.

Betapa menyesakkan hidup sepi ditengah keramaian. Melintas detik demi detik dengan hanya berpelukan pada asa yang tersisa. Bayang semumu yang kujumpai ketika aku terlelap yang tak lelah kugapai di tebing pengharapan. Berharap semua kembali normal.

Bila aku bisa, ingin aku memutar waktu. Biar kulukis lagi lautan dengan senandung keindahanmu. Biar kuhias jalanan Ubud Bali dengan renyah tawa dan senyummu. Tapi itu takkan mungkin terulang. Hanya angin, pasir, dan deru kendaraan yang kucium hambar. Hidupku hambar. Ich vermisse sie, Lang.

Sepertinya aku memang tidak bisa menyingkirkan kesetiaanku. Mencintaimu dengan napas terengah dan segala doa yang kupanjatkan. Siapa lagi kalau bukan engkau, yang dimataku tak pernah basi, Erlangga Rahadi Nugroho, pejuang AIDS sejatiku. Dan, Elang... Ijinkan aku untuk benar-benar melepasmu dan mencintai orang lain.

"Entschuldigung frau.. wie spat ist es?" tanya laki-laki bermata abu-abu berambut cokelat tepat dihadapanku.

Kurasa, mulai saat ini lembaran baru dihidupku baru saja dimulai......



ps: sesungguhnya ini sekedar tugas membuat cerpen bahasa indonesia, dan terimakasih untuk guru bahasa indonesia terbaik yang pernah saya miliki yang telah memberi nilai A untuk cerpen ini :"}

Minggu, 05 Mei 2013

Sindrom Kangen

Ini cuma tentang 5 anak remaja
Yang melakukan hal-hal idiot
Ketika berkumpul bersama
Tertawa bersama
Mengacau pada hal-hal di sekitar
Berbuat sesukanya
Tanpa peduli pandangan orang-orang terhadap kita

Tiap-tiap detik yang kita lewati bersama
Menjadi kenangan yang terindah
Terukir di setiap sudut-sudut tempat yang pernah kita jejaki
Penuh canda tawa dimanapun kita berada

Tetapi kita menghadapi masa depan
Kita berpisah karena jalan cita-cita kita berbeda
Dengan pilihan masing-masing
SMA Muh 1, SMAN 6, SMAN Tirto

Kita semua beranjak dewasa
Semua telah berubah, tak lagi sama
Aku, kamu, kalian semua
10 bulan kita berpisah

Kita mungkin memang mempunyai teman-teman baru
Tetapi, sampai kapanpun mereka bukanlah kalian
Mereka berbeda dengan kalian
Kalian apa adanya, dirty-minded, konyol, idiot, frontal,
Dan kalian nggak pernah marah
Ketika satu sama lain manggil
"Idiot" "Nyet" "Cuks" "Bego" "Su" dst...
Kalian itu segalanya
Nggak akan pernah tergantikan

Kalian itu ya cuma kalian berlima
Nggak ada yang lain
Kalian ya Power Eek yang selalu berlima
Eek ungu, pink, ijo, biru, putih
Karena ini tentang kita, bukan yang lain<3 :"}