Welcome to iniadalahcurhatku.blogspot.com | Please do not copy anything, hargai karya orang lain. Thankyou.

Kamis, 05 Desember 2013

From Austria With Love (Cast)

Here's my new story: FROM AUSTRIA WITH LOVE!
You can read it in HERE
And here's the cast i made:


^^^ It's Axecutive Indonesia Girls ^^^


^^^ It's Axecutive Indonesia Boys ^^^


^^^ It's Camberwell High School Girls ^^^


^^^ It's Camberwell High School Boys ^^^


^^^ All of the cast in FAWL ^^^

Rabu, 27 November 2013

Selamat Tanggal 27!

Sudah satu tahun yang lalu sejak aku mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu. Aku menulis tentangmu ini yang bertambah umur satu tahun lagi. Dan sudah satu tahun lebih pula sejak perjumpaan nyata kita. Kala itu, 14 Juli 2013. Saat pertama kali dimana pandangan mataku tak bisa lepas dari sosokmu. Mungkin pada saat ini pun, rasa itu masih sama. Masih ada disini, melekat kuat seperti akar-akar pohon yang mencengkram ingatan dan perasaan.

Aku tahu. Dan aku sangatlah tahu. Seperti tulisan-tulisan dalam blog ini yang ku alamatkan padamu, nampaknya tulisan ini pun tidak akan pernah kau baca. Tulisan ini akan teredam oleh banyaknya perhatian yang tertuju padamu. Kalaupun kamu membaca ini, mungkin kamu akan tertawa. Tapi mana mungkin kamu akan membaca? Apa lagi hinggan paragraf terakhir. Aku tahu, mungkin bagimu semua ini hanya lelucon konyol. Mungkin memang aku tidak pernah menjadi sosok yang penting di hidupmu.

Aku selalu kecil dimatamu. Anggapan-anggapan bahwa aku ini hanyalah juniormu selalu menyeruak memasuki pikiranku ketika aku menatapmu. Memang apa yang bisa dilakukan seorang junior terhadap seniornya? Dan mungkin itulah sebabnya aku tak pernah bilang padamu bahwa aku memiliki perasaan terhadapmu. Sesuatu yang lain yang ada dalam hatiku ketika aku melihatmu.

Hanya itulah yang dapat kulakukan dalam rentang waktu delapan belas bulan. Aku hanya melirikmu dalam sudut rahasiaku, diam-diam mencari tau segala sesuatu tentangmu, bersembunyi dalam baris-baris tulisanku. Seperti yang kulakukan kali ini. Lidahku kelu untuk mengucap bahwa, ya, memang aku menyayangimu.

Ini 27 November 2013. Dan hey, kau tahu? Aku tadi melihatmu di sekolah tanpa berani menyapa. Bodoh.

Hari ini umurmu bertambah satu. Selamat mengulang tahun yang ke tujuh-belas kalinya. Kau tahu apa yang ku doakan untukmu? Semoga Tuhan selalu menjangamu dimanapun kamu berada, semoga sukses dan lancar UN2014 nya, semoga masuk PTN yang sangat kau inginkan. UGM bukan? Semoga kamu tetap bersinar dengan caramu sendiri. Dengan apa? Bermain bola kah? Tetaplah menjadi yang terbaik. Di hatiku dan untuk seterusnya.

Selamat malam, Seth Clearwater!

Selasa, 29 Oktober 2013

December: When It's Gone [FLASHFICTION]

Sudah tidak ada lagi yang kupertahankan dari kita, terkecuali hatimu.

***

"Kamu kenapa?" tanya Alyssa yang sedari tadi memperhatikan Clara membolak-balikkan halaman majalah yang baru dibelinya dengan lesu.

"Aku kenapa memangnya?" Clara malah balik bertanya.

Alyssa menghela napas panjang "I know you're not okay. Ada apa Clar? Cerita sama aku" Clara hanya menatap lesu majalahnya, tidak ada tanda-tanda ia ingin bercerita.

"Kamu masih mau nungguin Izhar, Clar?" tanya Alyssa lagi sembari memasukkan buku-bukunya kedalam tas. Clara hanya menunduk.

"Aku.. Aku.. nggak tau Lyss" Clara membuang pandangan ke arah jendela.

Alyssa mendekatkan duduknya "Clar, aku khawatir sama kamu. Aku nggak mau kamu sampai kehilangan kebahagiaanmu lagi seperti dulu. Aku kenal kamu udah lama Clar" ujar Alyssa memeluk bahu sahabatnya itu

"I'm okay Lyss... Hadi menyatakan perasaannya padaku kemarin, dan ia memintaku untuk menjadi kekasihnya" ucap Clara

"Then.. your answer is...?" Alyssa menunggu jawaban Clara.

"Aku bilang, aku belum bisa jawab sekarang. Aku belum siap Lyss"

Alyssa mengerutkan kening tanda heran "Belum siap apa? Belum siap buat nerima kebahagiaan yang datang di hidupmu? Belum siap menerima kenyataan bahwa Izhar nggak akan kembali?!" cerocos Alyssa.

"Izhar pasti akan kembali!"

"Bagaimana jika tidak?"

Clara menggigit bibir "Karena aku percaya sama Izhar"

Alyssa menggelengkan kepala tidak percaya dengan jawaban Clara "Kamu sakit jiwa Clar! Bahkan kamu gila, rela membuang kebahagiaanmu demi seseorang yang bahkan tidak peduli dan meninggalkanmu"

Airmata Clara tumpah seketika, berbaur dengan udara dingin Barcelona.

***

"Hey Clara! Mukamu jelek banget di foto ini! Hahaha" teriak Izhar meledek Clara yang tadi tanpa sengaja Izhar memotret Clara.

"Ih Izhaaar! Hapus!" sahut Clara memecah keheningan taman sore itu.

"Aku nggak mau hahaha" Izhar tertawa puas lalu tawanya tiba-tiba mereda dan menatap Clara.

Clara yang sadar diperhatikan lalu menoleh "Apa?"

Abizhar menerawang keatas. Mencari kata-kata yang tepat "Clara, aku nggak bisa kayak gini terus sama kamu"

"Maksud kamu?"

"Aku harus pergi dari kehidupanmu"

"Jangan bercanda deh Zhar. Maksud kamu apa sih?" tanya Clara bingung

Izhar membuang pandangan, tidak berani menatap Clara "Kita cukup lama untuk temenan, sejak aku pertama kali bertemu kamu di cafe.. Aku tau, ada hal yang berbeda yang aku rasain ketika bersamamu Clar. Aku nyaman ada disamping kamu"

Clara menunggu Abizhar melanjutkan kalimatnya "Aku harus pergi. Aku minta maaf karena aku belum bisa kasih kepastian ke kamu. Aku hanya... belum siap" ia melanjutkan

"Jangan pergi. Aku bisa menunggumu sampai kamu siap" ucap Clara tertahan

"Jangan tunggu aku. Kejar kebahagiaanmu dengan orang yang lebih baik dari aku"

"Tapi.. aku mau kamu tetap disini"

"Aku nggak bisa liat kamu sakit terus-terusan karena aku"

"...are you still with me, Zhar?"


29 Oktober 2013

Senin, 28 Oktober 2013

You happy now?

I never felt this way before. I feel pain, and it's hurt.

You knew I'm into you, Seth. But i realize, I need to move on
Now I have someone else.
Please set me free, Seth. I must learn to love someone who love me.
And I know, it's not you. I know..

Seth, I begging you not to come back in my life.
I feel pain whenever you come around
I don't want to lose my happiness for the second time.

He loves me, Seth. And you need to know that.
I love him. But you're still have most of my heart.

Did you happy now, Seth? :"

Jumat, 18 Oktober 2013

December: Still Here [FLASHFICTION]



Akankah cinta kembali merajut masa lalu?


***

Clara menatap kaku layar ponselnya. Sudah cukup lama ia membeku sejak dering pertama menunjukkan satu pesan masuk di ponsel itu. Nama yang sudah sangat Clara kenal. Hadi. Laki-laki yang baru dikenalnya 3 bulan yang lalu.

From: Hadi
Clara, aku sayang sama kamu.
Can we meet up tomorrow?

Clara tidak kunjung membalas. Ia sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri di sudut cafe malam ini. Sebutir airmata menetes dari mata hazel gadis cantik itu. Perlahan ia menyesap kopinya yang mulai dingin tanpa disekanya airmata tadi. Hatinya tidak menentu dan tersesat tak tentu arah.

Dering ponselnya memecah keheningan yang sempat terjadi. Hadi menelponnya karena sms yang sama sekali tidak dihiraukan oleh gadis itu. Ia tidak menjawab telepon dari laki-laki itu. Matanya menerawang ke arah luar jendela. Tempat orang-orang berlalu lalang dengan senyum dan tawa kebahagiaan mereka. Clara sudah lama menyendiri.

Sejak laki-laki yang pernah berhasil masuk dalam kehidupannya di masa lalu. Laki-laki yang mengajarkan dirinya untuk tidak pernah patah semangat. Laki-laki yang selalu ada disaat ia terpuruk. Laki-laki yang benar-benar membuat Clara merasa dicintai. Kala itu, mungkin ialah gadis paling beruntung. Tidak setelah, laki-laki itu menghilang dari kehidupan Clara tanpa sebab. Hatinya remuk tak bersisa.

Dia Abizhar.

Clara tidak pernah mengira ketika seorang Izhar tidak ada disisinya, ia merasa sangat hampa. Kosong. Lagi-lagi ia menyesap kopinya yang dingin dan satu persatu bulir airmata berjatuhan. Karena disudut tempat inilah, awal mula Clara bertemu dengan Abizhar...

***

Barcelona, 2 tahun yang lalu..

Siang itu, Cafe Ganota sangat ramai dikunjungi orang. Clara memesan secangkir kopi panas dan memilih tempat di sudut cafe. Lalu ia sibuk mengutak-atik laptopnya. Tidak lama, ada seseorang laki-laki datang menghampirinya sambil membawa secangkir capucinno yang masih mengepul.

"Senorita, ould i sit down here? Because there's no more seat" laki-laki itu menyapa Clara
Clara mendongak menatap laki-laki berwajah asia tersebut. Lalu tanpa suara, Clara mempersilahkan laki-laki itu duduk dan kembali sibuk menatap layar laptopnya.
"Are you Asian, senorita?" tanya laki-laki tadi.
Clara menatapnya lalu menjawab "Yes.. I'm Indonesian."
Laki-laki itu tersenyum "Ah! Sama... aku Izhar, Abizhar Evan Dimas. dan kamu..?" tanya Izhar dengan bahasa Indonesia
"Clara. Alexandra Clara.' gadis itu tersenyum menatap Izhar.

***

Clara menangis mengingat semuanya. Mengingat pertemuan singkat mereka yang tak terduga. Clara jatuh cinta dengan Abizhar. Hanya laki-laki itu yang dapat membuatnya jatuh dan mencinta. Bagi Clara, Izhar tidak hanya sekedar indah, laki-laki itu tidak akan pernah terganti dihatinya.

Tapi semua terasa cepat. Tiba-tiba Izhar pergi. Tanpa berbekas, tanpa kabar sedikitpun.



Di bahu kanan jalanan La Rambla, depan cafe Genota, di tempat yang sama sekali Clara tidak sadari ada seseorang yang berdiam diri kaku menatap kaca-kaca jendela cafe. Ia sama sekali tidak menghiraukan lalu lalang orang-orang. Baginya, sosok berambut cokelat sebahu di sudut cafe adalah yang terpenting. Ia terus menatap gadis itu dari kejauhan.

Melihat butiran bening menetes dari mata hazelnya jatuh menuruni pipinya yang putih pucat, hatinya terasa kelu. Ia tidak bisa berdiam terus disini. Lalu ia merapatkan jaket tebalnya karena salju mulai turun. Ia beranjak pergi dari tempatnya ia berdiri tadi. Menatap sekali lagi ke arah gadis itu, lalu ia membalikkan tubuh. Menghilang diantara kerumunan orang.


18 Oktober 2013

Senin, 30 September 2013

Too Late [FLASHFICTION]



Mengapa cinta datang terlambat?

"Lo baru mau berjuang untuk dia sekarang?" tanya Raka setelah mendengar pernyataanku. Aku hanya bisa mengangguk untuk mengiyakan pertanyaan tadi.

"Darimana aja lo? Buta ya? Jelas-jelas dari dulu Raquelle sayang sama lo Dam" sambung Raka lagi. Aku tak mengelak. Aku tau aku telah salah. Seharusnya aku memperjuangkan Raquelle dari awal, ketika Raquelle masih menjadi sahabatku. Tapi kini aku berniat untuk memperjuangkan Raquelle kembali.

***

Bayangan-bayangan semu terus berdatangan, berebut-rebut memasuki otakku. Berbagai kenangan bersama Raquelle terlintas begitu saja dibenakku. Aku tidak mengerti perasaan apa ini. Dulu aku tak pernah merindukannya. Tapi semuanya berubah ketika ia pergi, pergi menjauh dari hidupku.

Gadis itu berjalan dengan anggun memasuki ruangan Prom Night. Dia sungguh mempesona dengan gaun merah selututnya. Ia tampak seperti peri cantik dengan tubuh mungilnya. Aku tidak bisa melepas pandanganku dari sosok itu, tapi kemudian Raka menyikutku seolah segera menyuruhku untuk memperjuangkannya.

Tapi ada seseorang lain. Ia menggandeng tangan mungil milik Raquelle. Bahkan aku mengenal laki-laki itu. Raquelle tersenyum bahagia seolah-olah tanpa beban. Aku telah jatuh cinta padanya. Aku memang menyesal tidak pernah menghiraukan perasaan Raquelle terhadapku dulu. Aku hanya mengingkari apa yang hatiku katakan. Raquelle lelah memperjuangkanku sendirian. Ia kecewa terhadapku. Lalu pergi meninggalkanku, ia menjauh.

Dan kini ia bersama dengan yang lain. Aku sangat menyesal.

Aku terpaku ketika gadis itu tersenyum ramah menghampiriku di ujung ruangan.

"Apa kabar kamu Dam?" tanya Raquelle tersenyum lembut.

"Aku baik. Kamu sendiri bagaimana Raqs?" tanyaku berbasa-basi

"Tidak pernah lebih baik daripada ini. Kamu sendiri aja Dam?" jawabnya

"Raquelle... I need to tell you something to make things are clear" aku tidak menjawab pertanyaannya

"So... what is it?"

"I'm into you, Raquelle Pradipta. It feels so 'right' ketika aku bersamamu. Bentuk perhatian-perhatian kecil kamu yang selalu ada disamping aku. Selalu ada disaat aku butuh kamu. I feel like... I'm in love with my only bestfriend" aku mengungkapkan semuanya.

Ia terdiam untuk sejenak. Termangu sibuk dengan pikirannya "Dulu... Aku perjuangin kamu mati-matian. Tapi aku lelah berjuang sendirian demi kamu. Aku pergi, karena aku kecewa sama kamu yang nggak pernah menghiraukan aku. Aku ada disini Dam. Kenapa kamu baru bilang sekarang?"

Aku menunduk. Sangat menyesal "I'm so sorry... I'm such an idiot. Maaf karena aku nggak pernah mau belajar peka sama kamu. Nggak pernah menghargai perjuangan kamu buat aku. Rasa itu menguap ketika kamu pergi dari hidupku. Maaf karena aku baru mempunyai keberanian untuk mengungkapkan semuanya kepadamu saat ini. I feel so empty without you, Raqs. Aku merindukanmu." ujarku.

"Aku sayang kamu Dam, but it was too late... Kamu tau aku udah bersama Evan sekarang. Jadi tolong ijinkan aku bahagia bersama Evan" ujar Raquelle

"Aku masih sahabatmu Raqs?"

"You are always be my bestfriend, Dam"

Aku salah karena tidak mau berkorban untuknya sehingga kini aku kehilangannya. Aku hanya berharap laki-laki yang Raquelle pilih sempurna. Karena kini Irsando Adam harus belajar mengikhlaskan apa yang bukan miliknya.


Cinta Datang Terlambat - Maudy Ayunda
30 September 2013

Sabtu, 08 Juni 2013

Cincin Pertama [FLASHFICTION]



Aku membereskan buku-bukuku yang sedari tadi kubaca. Aku menyesap jus jambuku berjalan menyusuri lorong kampus yang padat akan mahasiswa dan mahasiswinya yang berlalu lalang. Mendadak suara-suara bermunculan dalam kepalaku. Membawaku kembali mengingat-ingatnya.

"Lulus SMA kamu mau lanjut kemana?" tanyanya disela tawa-tawa kami.
"Aku nggak tau, yang jelas aku mau lanjut studi sastra indonesia. Kamu?" tanyaku
"Aku mau lanjutin sekolah di Manchester. Nggak di Indonesia" ujarnya matanya menerawang
Aku menatapnya "Manchester? Itu kan... Jauh" Ia hanya mengangguk "Lalu... kapan kamu pulang?" lanjutku
"Aku belum tau... Ayahku mengizinkan aku pulang jika aku sudah siap" jawabnya. Aku memandang kosong, membatu. Pasti membutuhkan waktu yang sangat lama.

Saat kelulusan tiba, kami saling menatap dalam diam dan tersenyum. Ia menjabat tanganku dan mengucapkan selamat karena aku adalah lulusan terbaik tahun itu dan tersenyum lebar seakan tidak memiliki beban. Lalu ia mengucapkan selamat tinggal. Semuanya terjadi begitu cepat. Terlampau cepat. Semenjak itu, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi.

"Riani!" teriak sebuah suara. Aku menoleh. Seorang laki-laki berlari ke arahku
"Kamu Riani kan?" tanyanya lagi. Aku mengganggukan kepala. Menatapnya bingung "Temen SMA nya Abizhar?" lanjutnya
Aku membeku mendengar nama itu disebut lagi. Aku tidak menjawab pertanyaannya "Ada sesuatu hal yang mau aku bicarain. Besok jam 4 sore dateng ya ke Kedai K'meals ya. Bisa kan?"
Kali ini aku hanya bisa mengangguk lagi mengiyakan. "Oke kalo gitu, sampe ketemu besok. Bye" ujarnya berlalu pergi. Ia mengenal Abizhar dan ia juga mengenalku. Bahkan aku sendiri pun tidak tahu namanya siapa.

***

Sudah setengah jam semenjak aku memasuki kedai kopi ini. Orang yang mengajakku kemarin belum menunjukkan kehadirannya. Aku mengaduk-aduk kopiku yang mulai dingin. Mengrutuki diri sendiri, percaya pada orang yang baru dikenal. Seharusnya aku tidak disini. Aku berniat untuk pulang.

Aku menangkap sosok yang sangat ku kenal ketika aku membalikkan badan.

Dia Abizhar Rasyid Ridho.

"Izhar?" gumamku
"Apa kabar... Riani?" tanyanya. Aku tidak menjawab
"Apa yang kamu lakukan disini Zhar?" tanyaku.

Raut muka Izhar terlihat bingung. Izhar berjalan beberapa langkah tepat dihadapanku. Ia menunduk. Wajahnya memerah lalu merogoh saku di celana jeansnya. Tiba-tiba ia berlutut tepat dihadapanku, aku terdiam. Tidak tau harus melakukan apalagi.

"Emmm... Ri, aku.. aku nggak tau harus bilang apa"
Aku tersenyum melihat laki-laki yang ia tunggu selama ini gemetaran begitu hebat. Aku sama sekali tidak menyangka Izhar akan melakukan hal ini. Kotak cincin itu dibuka tepat dihadapanku. Cincin itu sangat indah.  Aku tidak dapat membendung airmataku lagi, aku meneteskan airmata.
"Maaf membuat kamu menunggu terlalu lama sampai aku berani melakukan ini. Aku hanya ingin kita selalu bersama. Faradina Riani... will you marry me?"

Aku terisak dan menganggukan kepalaku sebagai jawaban. Izhar memasangkan cincin berwarna perak tersebut ke dalam jemariku dengan lembut. Pas. Entah mengapa, cincin itu terlihat berkilauan di jari jemariku. Sangat manis. Izhar lalu memelukku erat. "I love you, mrs. Abizhar"

Aku terkekeh, airmataku masih mengalir dan merapatkan pelukanku "I love you too, mr. Abizhar"




Lalu aku terbangun diatas kasurku menatap langit-langit kamar dengan airmata yang terus meleleh dipipiku. Abizhar tidak akan kembali. Itu semua hanya mimpi


Mimpi - Anggun
8 Juni 2013

Jumat, 31 Mei 2013

Hilang [FLASHFICTION]



"Selamat ulangtahun ya sayang" ujar Serra menghampiriku sambil mencium pipi kanan dan kiriku.

"Makasih banyak Serra" jawabku sembari tersenyum, lalu Serra masuk ke dalam ruangan.

Malam ini adalah malam pesta perayaan ulangtahun sweet seventeen ku. Aku masih berdiri diluar ruangan pesta. Berdiri disamping banner besar bertuliskan 'Kiara's Sweet 17th'. Teman-temanku satu persatu mulai berdatangan. Ucapan selamat ulangtahun terus membanjiri ballroom hotel tempat aku merayakannya. Aku hanya bisa mengucapkan terimakasih dan tersenyum semampuku sembari melongok ke arah luar. Orang yang kutunggu belum juga menampakkan batang hidungnya. Orang itu.

Aku memutuskan untuk masuk ke dalam ballroom hotel yang sengaja ku desain berwarna serba merah karena waktu terus berjalan. Ikut berbaur dengan tamu-tamu yang ada. Teman-temanku, sahabat-sahabatku, saudara-saudaraku, adik-adikku, semua ada, kecuali satu. Orang itu. Mataku terus terpaku, menatap cemas pintu masuk, berharap dia berjalan memasuki ruangan ini, melalu pintu itu.

"Kiaraaa, happy sweet seventeen ya darling. I wish nothing but the best for you" ujar Bianca membuyarkan lamunanku.

"Thankyou sayang" jawabku sedikit memaksakan senyum.

Dan semua ini seperti bergerak sangat lambat. Aku berdiri mematung, di depan puluhan orang yang tertawa-tawa bahagia mereka dengan gaun pestaku. Aku memang tidak ingin membuat mereka terkesan. Mataku terus menatap setiap sudut dalam ruangan ini. Tetapi ada satu yang hilang. Dia tidak datang. Biarlah mereka berkata semaunya. Aku tak akan mendengar suara sumbang mereka. Karena mereka sama sekali tidak mengerti.

Setelah acara tiup lilin dan potong kue, aku keluar dari kerumunan. Aku hanya ingin sendiri saat ini. Kamar mandi menjadi tujuan utamaku. Aku menatap refleksi diriku di cermin. Berusaha semampuku untuk tidak jatuh, air mataku tergenang dipelupuk mata. Menunggu untuk menjatuhkan dirinya.

"Kiara, are you ok?" tanya sebuah suara. Ternyata itu Yarra, sahabatku.

Aku memunggunginya, mengacungkan tangan kananku dan jariku membentuk tanda bahwa semuanya baik-baik saja. "Everything's okay Yar"

"I know you're not Ra, i'm your bestfriend" timpalnya. Aku menangis. Aku tidak dapat menahan air mataku lagi. "Apa dia benar-benar akan datang Ra?" lanjutnya

"Dia bilang, dia bakal datang" ujarku putus asa

Apa yang bakal kamu lakukan ketika airmatamu menetes di pipimu di depan orang-orang yang kamu kenal? Dan orang-orang itu memasang tampang iba padahal saat itu seharusnya adalah hari bahagiamu? Apa yang bakal kamu lakukan ketika orang yang sangat berarti bagimu dan sangat kamu sayangi adalah satu-satunya orang yang tidak datang di hari bahagiamu? Bahkan mungkin lupa dengan hari ulangtahunmu?

Seharusnya kamu ada disini, Fauzan. Seharusnya kamu berdiri di depan pintu itu, dengan senyum khasmu yang sangat aku suka. Dan seperti ribuan bintang, aku merasa sangat bahagia malam ini. Seharusnya kamu adalah orang pertama yang mengucapkan selamat ulangtahun. Tapi, salahkah aku berharap banyak pada hari ulangtahunku? Aku hanya berharap kamu ada disini, disampingku Fauzan.

Dan aku akan sangat merasa bahagia. Ini sekedar pengharapan nyata.

Tapi tidak kali ini. Aku kecewa, Fauzan.


The Moment I Knew - Taylor Swift

Minggu, 26 Mei 2013

Barcelona Girl [FLASHICTION]



Aku memutar bola mata lalu menghela nafas panjang. Pandanganku tersita kearah utara di seberang lapangan basket. Apa yang kali ini aku lihat benar-benar membuatku muak. Tidak seharusnya perasaan muak ini muncul. Aku sudah berkali-kali mengingatkan pada diriku sendiri untuk berpikir secara rasional. Tapi tidak untuk kali ini, aku sudah terlanjur muak. Aku cemburu.

Aku berjalan menyusuri koridor sekolah sambil merapatkan jaket berlambangkan klub bola FC Barcelona. Jaket itu pemberian Reihan, sahabatku. Beranjak dari tempat nyamanku karena melihat pemandangan yang menurutku menyebalkan. Yang baru saja aku lihat adalah Reihan dengan Megan. Mereka terlihat jalan berdampingan sembari tertawa. Aku dan Reihan memang menyukai klub bola yang sama, Barcelona. Tapi beberapa waktu terakhir ini dia lebih menyukai Bayern Munchen. Dia telah berubah, dan menjauh. Aku sendiri tidak mengerti.

Aku tau, aku bukanlah orang pertama dan satu-satunya baginya.
Perhatian Reihan bukan hanya untukku.
Aku hanya sahabat Reihan, tidak lebih dari itu. Aku tau itu.

Kali ini aku mencoba untuk lebih tegar. Reihan bersikap manis bukan hanya untuk aku, seorang Bevinza Carmen tetapi kepada semua orang yang ada didekatnya. Termasuk Megan. Teman satu kelasnya sendiri. Padahal, dulu kami sangatlah dekat. Kami adalah sahabat dekat. Tapi semenjak......

"Bev, ngapain lo disini?" seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku menoleh. Ternyata Deva. Teman sekelasku.

Aku melepas earphone ku "Gue lagi bete aja" jawabku acuh

"Gue tau, pasti... Reihan kan?" tebaknya cengengesan.

"Eumm.. As you see..." ujarku

Deva menatapku "Trus akhir-akhir ini gue liat, dia mulai pindah hati ke Bayern Munchen deh, padahal gue tau dari dulu dia cinta mati sama Barcelona. Kenapa?"

"Gue nggak tau, bosen kali sama Barcelona. Lebih-lebih mungkin dia bosen sama gue Dev" ujarku

"Friendzone banget. Coba lo ngomong apa yang lo perlu omongin sama dia" usul Deva. Aku menatapnya dalam diam.

***

Kalau saja aku lebih berani, aku ingin Reihan tau bahwa aku sangat menyayanginya. Kalau saja aku bisa lebih jujur padanya, mungkin dia masih ada disisiku saat ini. Siang ini, kantin tidak terlalu ramai. Aku melihat untuk memastikan bahwa Reihan ada di kantin. Dan benar, ia masih disitu. Tempat favorit kami. Aku berusaha untuk tetap tersenyum lalu berjalan ke arahnya.

"Rei..." panggilku lirih, ia menoleh. Menatapku tanpa suara.

"Bev?" ia sedikit tersentak

"Ada yang perlu gue bicarain sama lo" lanjutku. Ia mempersilahkanku duduk.

Kami sama-sama terdiam "To the point aja ya.." ujarku. "Lo.. Lo kenapa ninggalin Barcelona setelah lo lama bersama dia?" lanjutku

"Gue nggak ninggalin Barcelona, gue cuma berusaha untuk menyukai hal lain sekarang. Awalnya gue ragu dan takut, tapi lalu gue berfikir Bayern Munchen nggak buruk. Sama bagusnya dengan Barcelona" jelasnya.

"Yang mau gue omongin sebenernya bukan Barcelona ataupun Munchen. Tapi kita Rei... Kita! Kita ini sebenernya kenapa Rei? Lo kenapa Rei? Kenapa lo menjauh setelah lo tau gue sayang sama lo lebih dari sahabat? Apa gue salah Rei?" tanyaku beruntun

Rei terdiam. Ia tidak menjawab pertanyaanku "Dari awal, gue udah takut lo punya perasaan lebih itu"

"Rasa itu nggak bisa dipersalahkan, ia datang dengan sendirinya tanpa kita tau Rei" jawabku

"Gue tau lo sayang sama gue. Gue juga Bev. Gue sayang sama lo. Tapi gue nggak bisa kasih lo lebih dari ini. Gue belajar dari lo, kalo setiap cinta itu butuh kepastian Bev. Dan gue belum bisa kasih itu ke lo" ujarnya

Banjir bergerumul di pelupuk mata. Aku menahannya untuk tetap jatuh. "Gue tau Rei, ini pasti sulit. Terjebak di situasi friendzone kayak gini. Tapi tolong Rei, jangan pernah tinggalin Barcelona lagi"

"Maafin gue kalo akhirnya jadi kayak gini. Gue masih pengen kita sahabatan kayak dulu lagi..." ia terdiam. Lalu melihat lambang FC Barcelona di jaketku. "Ini....... jaket yang........"

"Ini jaket yang pernah lo kasih sama gue, dulu" potongku, tersenyum walau aku masih menahan untuk tidak menangis

"Lo... lo masih pake?" tanyanya

"Karena gue masih pengen jadi Barcelona-Girl lo. Boleh kan Rei?" ujarku

"Dan sampai kapanpun, lo akan tetap menjadi Barcelona-Girl gue, sahabat gue, Bevinza" ujar Reihan

"Cintai Barcelona lagi ya? Gue mohon" aku menatapnya memohon. Reihan mengangguk sembari tersenyum.



Yogyakarta, 26 Mei 2013

Minggu, 19 Mei 2013

Rewind Button [FLASHFICTION]



Mengapa mencintaimu begitu sulit? Kamu sulit untuk kuraih dan kugapai.

Aku terdiam. Terus menggigit bibir bawahku. Sudah beberapa jam terakhir ini aku duduk termenung disini menunggu langit berhenti menangis. Bersama kedua sahabatku, Liana dan Izhar. Bel pulang sekolah memang sudah sedari tadi berbunyi, tapi hujan deras meruntuhkan niatku untuk pulang ke rumah. Aku memandang ke arah lapangan basket. Anak-anak laki-laki penghuni asrama sekolah memunculkan diri untuk melaksanakan aksinya bermain bola. Aku terpaku. Bagiku, semuanya tak menarik.

Jam menunjukkan pukul setengah 5 sore. Semua sibuk dengan aktivitas masing-masing. Liana sibuk dengan laptopnya dan Izhar sibuk menonton bola. Aku? Tak ada yang kulakukan selain berdiam diri. Lalu, dengan tiba-tiba, sosok itu datang. Sosok yang kurindukan lewat tepat dihadapanku. Dia yang menggunakan baju merah, berjalan dengan santainya tanpa menyadari aku disitu.

"Alan...." aku  mendesis. Liana menoleh

"Dimana dia?" tanya Liana menatapku.

"Yang pake baju merah. Barusan lewat." jawabku tetap memandang kosong ke arah lapangan basket

Liana memiringkan kepalanya "Lalu, dia pura-pura tidak melihatmu? Atau dia memang tidak melihatmu?"

"Aku tidak tau. Aku sangat rindu padanya" kataku

"Aku tau itu" Liana kembali sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang ia mainkan

Tak berapa lama, sosok yang kunantikan itu lewat tepat dihadapanku lagi. Mustahil jika kali ini dia tidak melihatku. Aku merindukan segala hal yang ada pada dirinya. Cara berjalannya yang khas, senyumnya yang tulus, rambut ikalnya. Alan... Alan... Alan...

"Lan, kamu jangan lupa save nomer baruku ya" ujarku tersenyum sambil mensejajari langkahnya yang lebar menuju parkiran sekolah
Alan menoleh lalu berhenti berjalan dan menatapku "Emang kamu siapa? Aku pernah kenal ya sama kamu?"
"Jadi, nggak kenal nih? Oh yaudah" jawabku sambil melipat tangan di dada
Alan tertawa renyah melihatku cemberut "Kenalan dong makanya.." katanya. "Halo, aku Alan Bramantya. Dipanggil Alan. Sendirinya?" lanjutnya
"Aku Andania Renata. Panggil aja Dania. Hehehe" aku nyengir lebar
"Tuh temenku ada yang mau kenalan sama kamu Dan. Cie cie" ujarnya
Aku memiringkan kepalaku "Siapa Lan?"
"Kepo deeeeh" ia menjulurkan lidahnya
"Ih Alaaaaaaaann!" teriakku. Lalu ia berlari menghindari cubitanku

Kenangan-kenangan itu terus berlalu lalang dalam otakku. Memutar kembali memori-memori yang dulu pernah aku lewati bersama Alan. Seperti tombol rewind di film-film. Tapi aku sadar, ini bukan film. Kenangan itu akan terus menjadi kenangan.

"Daniaa!" teriak suara yang sangat kukenal
Aku menoleh "Apa?"
"Menurut kamu, anak futsal tuh gimana?" tanyanya cengengesan
"Jadi, kamu lari-lari kesini cuma tanya gituan?" aku kembali sibuk memainkan laptopku
"Jawab aja deh Dan. Anak futsal tuh ganteng-ganteng kan ya?" tanyanya menaikkan sebelah alisnya
Aku menghentikan pekerjaanku "hmm.. menurut aku sih emang ganteng-ganteng"
Dia tersenyum "Berarti aku ganteng dong"
"Kalo kamu ganteng, berarti aku cantik. Yeee" ujarku tak mau kalah
"Jangan ngaku cantik kalo belum pacaran sama anak futsal" katanya, air mukanya berubah serius
"Yang penting bukan sama kamu ya Lan. Hahahaha" ujarku mencubit pipinya
"Aku seriusan Daaaann" ujarnya cemberut membuatku semakin ingin tertawa

Sosok itu lewat kembali membuyarkan segala ingatanku. Ia kembali bersama teman-temannya. Alan sudah berganti baju dengan jersey berwarna biru dan berlogo Manchester United di dada kirinya, bercelana pendek, dan bersepatu bola. Ia memang tergabung dalam tim futsal sekolah. Hari ini dia latihan.

"Cie yang ultah. Happy birthday ya Alan. Semoga makin segalanya yang baik-baik, makin sukses dan keren main bolanya. Semoga tetep jadi Alan-nya Dania ya. Ehehehe" ujarku pada Alan
Alan tersenyum simpul "Yoiii, makasih ya Dania kecil. Ehehe"
"Fans-fans kamu ditwitter pada ngucapin tuh. Sana dibales, biar mereka seneng" aku nyengir kuda
"Aku lagi nggak twitteran nih. Kan aku lagi sama kamu Dan" Ia tersenyum lagi

"Dan? Dan? Dania...!!" suara cempreng Izhar membuyarkan lamunanku

"Hah? Iya Zhar?"

"Hujan udah berhenti tuh. Kamu nggak mau pulang emang?" tanya Izhar

Aku mendongak "Oh iya, kamu pulang sekarang Li?" tanyaku pada Liana

"Iya Dan, udah sore juga" jawab Liana

"Eh yaudah, aku pulang duluan ya Dan, Li" timpal Izhar berlalu pergi

Liana menoleh padaku "Kamu pasti habis ngelamunin Alan ya?"

"Siapa lagi Li" aku menunduk

"Kayak nggak ada cowok lain aja sih Dan, kamu nggak bisa gini terus" ujarnya

"Tapi aku sayang sama Alan, Li. Kamu nggak tau perasaan aku" kataku melemah

Liana menghela nafas "Kamu itu cantik Dan. Banyak cowok lain yang mau sama kamu. Mereka bisa kasih kamu kepastian."

Aku terus menunduk "Tapi cuma Alan yang aku tunggu. Cuma Alan yang mau aku perjuangin Li"

"Dania.. setiap hati itu butuh kepastian. Alan belum bisa kasih itu." ujarnya putus asa

"Aku percaya Alan bisa" aku menahan air mata yang membanjiri pelupuk mata.

Liana mendesah "Aku bingung sama jalan pikirmu Dan. Aku mau pulang dulu" Liana berjalan perlahan meninggalkanku yang terpaku. Siluet-siluet Alan terus berkelebatan dalam pikiranku.


Liana benar. Setiap hati memang butuh kepastian.

Kamis, 09 Mei 2013

Keterbatasanmu Kebagahiaanku [FLASHFICTION]



Wina-Austria, September 2012

"Bersamamu.. Semua jadi begitu bermakna. Biarkan ini menjadi nyata, bukan ilusi belaka, semoga..."

Gerimis sore ini datang begitu saja. Menebarkan bau khas dan hawa dingin yang menusuk pori-pori. Aroma kopi menyeruak ketika aku memasuki kedai kopi di sudut jalan selagi aku merebahkan diri mencari posisi nyaman di sofa empuk dekat jendela. Mendung hitam kian menggantung dilangit kota Wina. Memamerkan sketsa kemuraman mendalam yang membias disetiap jengkal jalanan yang ramai oleh pejalan kaki.

Sudah 2 tahun sejak aku memutuskan pindah ke Austria untuk melanjutkan kuliah seni ku dan meninggalkan berbagai macam kenangan-kenangan indah di Indonesia. Negara tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Menghantamku kembali ke masa-masa itu. Masa yang seharusnya tak kuingat-ingat lagi.

Ubud-Bali, Desember 2009

"Hey Kiara, kenapa wajahmu sedih? Bukankah ini malam tahun baru? Tidak sepantasnya kamu sedih, beberapa menit lagi, kita membuka lembar baru" Ujar sebuah suara tepat dibelakangku. Suara yang sangat ku kenal. Aku menoleh.

"Elang?" Lalu ia menyeringai lembut menampakkan gigi berpagarnya.

"Boleh aku duduk disini?" tanyanya sembari menepuk tempat kosong disebelahku. Aku mengangguk, kembali melihat bulan yang sepertinya ikut merasakan kepedihanku. Aku dan Elang terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Debur ombak memecah keheningan malam itu. Dadaku menyesak.

"Elang?"

"Hmm..."

"Aku... aku hanya ingin kau bersamaku selalu. Kamu adalah sahabat terbaikku. Aku selalu mencintaimu. Jangan pernah pergi" ucapku menahan isak tangis.

"Demi-mu aku mau. Demi-mu aku mampu. Untuk jadi 'rumah tujuan' untuk segala tawa dan tangismu" Elang menatapku dalam.

"Jangan pernah berjanji apapun Erlangga" jawabku sambil membuang muka. Merasakan rasa sakit di ulu hati seperti dihantam palu godam.

"Kenapa?" tanyanya dengan lugu.

"Aku hanya takut, kamu tidak dapat memenuhi janjimu sendiri. Aku tau kenyataan yang ada" ujarku

"Kiara, aku tau kita berbeda. Aku sangat tau kenyataan bahwa aku memiliki penyakit yang terus menggerogoti sistem kekebalan tubuhku. Dan aku sangat-sangat tau, dokter sudah memvonis umurku tidak lama lagi" jelasnya panjang lebar.

"Karena kita berbeda, makanya aku percaya kita saling cinta" jawabku

"Jadi, apa jawabanmu atas pertanyaan yang kuajukan 2 hari yang lalu padamu?" tanyanya penasaran.

"Aku mau jadi pacarmu." jawabku singkat

"Dengan segala keterbatasanku?" tanyanya lagi

"Iya. Bagaimana jika aku tolak sedangkan keterbatasanmu adalah segala kebahagiaan yang aku miliki? Cintaku tanpa alasan" Ia tersenyum simpul. Puluhan kembang api bersahut-sahutan menyala di langit yang pekat. Menyadarkanku bahwa kebahagiaan berjalan seiring dengan adanya kesedihan.

Ubud-Bali, Juli 2010

Aku dan Elang sudah berpacaran selama 6 bulan. Kini, Elang terbaring lemah di ranjang kecil kesayangannya. Aku melihatnya. Sendirian. Lalu Elang tersenyum separo kepadaku. Aku hanya terdiam. Elang menyuruh aku duduk disampingnya.

Aku membisu menatap Elang. Badannya semakin kurus dan melemah. Ia sudah tidak uasa menahan kejamnya penyakit AIDS yang terus menggerogoti tubuhnya. Sorot mata optimis dan semangat yang selalu ia tanamkan padaku sekarang menghilang. Airmata yang kubendung sedari tadi tumpah.

"Kiara.... kamu tau nggak apa yang paling bikin aku bahagia?" Elang tersenyum, matanya terus menerawang ke langit-langit kamarnya yang berwarna biru. Aku menoleh tidak menjawab, menunggunya untuk melanjutkan.

"Kau yang terbaik dan terindah di hidupku. Karena hanya kepada kamulah, cinta itu.... ingin ku awalkan dan ku akhirkan." lanjutnya

"Kamu mau kemana? Aku ikut" tanyaku polos

"Aku harus pergi, Kiara. Disuatu tempat yang jauh. Kamu tidak boleh ikut" jawabnya sembari mengusap-usap rambutku.

"Bohong! Kamu tidak boleh pergi! Bagaimana aku dapat hidup tanpamu? Padahal kucecap kebahagiaan ketika bersamamu!" Jeritku tertahan. Isak tangisku semakin keras. Genggamanku semakin mengerat.

"Terimakasih untuk senyum yang kau titipkan malam ini. Membasuh khawatirku tanpa perih, Kiara" Ia tersenyum. Perlahan sorot matanya meredup. Genggamanya terlepas dari tanganku. Ingin menangis tapi airmataku terasa habis. Ingin berteriak tapi tidak bisa. Ulu hatiku terasa ngilu, sesak.

Kubiarkan udara kosong yang mengapung diatas kepala, membawa serta gurat-gurat kesedihan senja kali ini. Pahlawan AIDSku pergi, dengan meninggalkan sejuta angan dan mimpi yang telah kubangun bersamanya. Walau aku tau, baginya itu takkan pernah menjadi nyata.

Wina-Austria, September 2012

Sejenak, desau roda kendaraan menyapu jalanan yang sepi. Menyadaranku dari kesendirian dan ingatan masa lalu. Sesaat aku terombang-ambing di sofa berwarna peach disudut kedai kopi ini. Bertanya untuk apa aku disini. Berada diantara ratusan pejalan kaki diluar sana melenggang bergandengan dengan menyungging senyum kebahagiaan.

Betapa menyesakkan hidup sepi ditengah keramaian. Melintas detik demi detik dengan hanya berpelukan pada asa yang tersisa. Bayang semumu yang kujumpai ketika aku terlelap yang tak lelah kugapai di tebing pengharapan. Berharap semua kembali normal.

Bila aku bisa, ingin aku memutar waktu. Biar kulukis lagi lautan dengan senandung keindahanmu. Biar kuhias jalanan Ubud Bali dengan renyah tawa dan senyummu. Tapi itu takkan mungkin terulang. Hanya angin, pasir, dan deru kendaraan yang kucium hambar. Hidupku hambar. Ich vermisse sie, Lang.

Sepertinya aku memang tidak bisa menyingkirkan kesetiaanku. Mencintaimu dengan napas terengah dan segala doa yang kupanjatkan. Siapa lagi kalau bukan engkau, yang dimataku tak pernah basi, Erlangga Rahadi Nugroho, pejuang AIDS sejatiku. Dan, Elang... Ijinkan aku untuk benar-benar melepasmu dan mencintai orang lain.

"Entschuldigung frau.. wie spat ist es?" tanya laki-laki bermata abu-abu berambut cokelat tepat dihadapanku.

Kurasa, mulai saat ini lembaran baru dihidupku baru saja dimulai......



ps: sesungguhnya ini sekedar tugas membuat cerpen bahasa indonesia, dan terimakasih untuk guru bahasa indonesia terbaik yang pernah saya miliki yang telah memberi nilai A untuk cerpen ini :"}

Minggu, 05 Mei 2013

Sindrom Kangen

Ini cuma tentang 5 anak remaja
Yang melakukan hal-hal idiot
Ketika berkumpul bersama
Tertawa bersama
Mengacau pada hal-hal di sekitar
Berbuat sesukanya
Tanpa peduli pandangan orang-orang terhadap kita

Tiap-tiap detik yang kita lewati bersama
Menjadi kenangan yang terindah
Terukir di setiap sudut-sudut tempat yang pernah kita jejaki
Penuh canda tawa dimanapun kita berada

Tetapi kita menghadapi masa depan
Kita berpisah karena jalan cita-cita kita berbeda
Dengan pilihan masing-masing
SMA Muh 1, SMAN 6, SMAN Tirto

Kita semua beranjak dewasa
Semua telah berubah, tak lagi sama
Aku, kamu, kalian semua
10 bulan kita berpisah

Kita mungkin memang mempunyai teman-teman baru
Tetapi, sampai kapanpun mereka bukanlah kalian
Mereka berbeda dengan kalian
Kalian apa adanya, dirty-minded, konyol, idiot, frontal,
Dan kalian nggak pernah marah
Ketika satu sama lain manggil
"Idiot" "Nyet" "Cuks" "Bego" "Su" dst...
Kalian itu segalanya
Nggak akan pernah tergantikan

Kalian itu ya cuma kalian berlima
Nggak ada yang lain
Kalian ya Power Eek yang selalu berlima
Eek ungu, pink, ijo, biru, putih
Karena ini tentang kita, bukan yang lain<3 :"}

Kamis, 21 Maret 2013

Surat Untuk 'KAMU' #3

My dearest-stalkerman,
KAMU, cinta pertama

Apa kabar kamu, cinta pertama? Ini adalah surat ketigaku untukmu
Seseorang berwajah sayu, bermata sendu, tawa khas, dan laki-laki pesepak bola handal. Bagiku, kamu tanpa cela. Dimataku, kamu memiliki peran yang luar biasa dihatiku. Hingga saat ini kurasa.

Tolong jangan berpikiran bahwa aku masih mengharapkanmu. Hanya saja, kamu adalah kenangan manis yang sulit kulupakan. Kemungkinannya sangat kecil jika kamu membaca ini apalagi membaca hingga akhir. Atau mungkin saja kamu bahkan tidak membaca surat pertama dan keduaku.

Tidak ada dasar dan alasan apapun aku yang menjelaskan mengapa aku membiarkan jemariku kembali menuliskan semua hal tentangmu. Aku bahkan tidak mengetahui bagaimana kabarmu. Bagaimana keadaanmu? Siapa perempuan yang menjadi pilihanmu kini? Ah, sudah berapa lama kita tidak bertemu? 3 tahun? 4 tahun?

Mungkin jika kita bertemu kita sudah saling berbeda. Aku berbeda dengan perempuan yang kau kenal dulu, mungkin begitu juga denganmu. Aku sedang membayangkanmu saat ini, seringai manismu, mungkin tinggi badanmu jauh melebihiku, caramu bermain bola. Mungkin saja kamu sibuk dengan kegiatanmu, dan mungkin saja kamu telah melupakanmu.

Aku masih saja menantikan sebuah pertemuan, walau tak ada rasa yang sama lagi antara kita. Tapi aku berharap, aku masih bisa menjadi temanmu. Sepertinya, aku terlalu berharap banyak ya? Bahkan aku dulu tidak pernah sekalipun menjadi kekasihmu. Padahal kita saling tau perasaan masing-masing tetapi ego mengurung kita.


Ah sudahlah.. memang benar mungkin, kekuatan cinta pertama jauh lebih kuat daripada cinta-cinta lainnya. Harusnya aku percaya itu? Ah lupakan. Bagaimana UTS mu? Lancar kan? Doaku selalu menyertaimu. Aku harus belajar dulu untuk UTS matematika besok. Doakan aku ya.


Selamat malam kamu, Embry Call.


Sincerely,
Ninda

Senin, 25 Februari 2013

That Stupid Moment

Kak N: "Kamu yang namanya Nindi ya?"
Aku: "Bukan, Ninda"
Kak N: "Oalah, calon pacarnya Seth ya?"
Aku: "Hah? Bukan kak"
Kak N: "Tapi yang sering diejekkin itu kan?"
Aku: "Hehe iya kak" *ketawa maksa*

Lelah Dengan Yang Ada

Aku lelah. Dengan semua omong kosong ini. Drama ini. Senyum ini. Orang-orang ini. Muak dengan semua ceria palsu yang ada. Mungkin sudah tidak ada yang perlu aku pertahankan lagi. Tidak berguna. Semua hanya akan sia-sia saja.

Aku tak sabar ingin buru-buru kenaikan kelas. Lepas dari ini semua. Lepas dari jeratan orang-orang yang haus akan kekuasaan. Tidak semua. Hanya beberapa. Manusia-manusia egois yang menganggap dirinya populer merusak segalanya. Muak dengan drama-drama yang mereka ciptakan. Masalah baru kian muncul. Masalah kecil pun harus dibesar-besarkan.

Aku lelah bertemu mereka. Beberapa dari mereka teman-teman terbaikku, tapi ada beberapa dari mereka yang... Sudahlah. Disatu sisi aku tak ingin kehilangan teman-teman yang aku sayangi. Tapi di sisi lain aku sudah muak dengan segala omong kosong orang-orang itu.

Minggu, 03 Februari 2013

Re-post 2011: Percakapan Antara Cinta Dan Agama

"Ketika aku dan kamu berbeda dimensi, saat itulah sebuah perasaan bertemakan cinta muncul menyatukan segala perbedaan dimensi diantara kita"

Salwa: "Bagaimana hubunganmu dengan si gigantisme tampan itu?"
Aku: "Maksudmu kekasihku? Baik-baik saja"
Salwa: "Ah si Protestan itu"
Aku: "Ya, dia memang religius"
Salwa: "Lalu, bagaimana bisa kau sangat mencintainya? Kau kan Islam, dia Protestan"
Aku: "Aku mencintainya. Bagaimanapun apa adanya, seburuk atau sebaik apapun tingkahnya"
Salwa: "Ah, kau terlihat munafik. Ini seperti bukan dirimu"
Aku: "Aku tidak munafik. Tetapi si Protestan lah yang mengajariku tentang perbedaan dimensi"
Salwa: "Oh ayolah, gunakan akal sehatmu. Islam dan Protestan itu sangat berbeda bukan?"
Aku: "Memang berbeda. Tapi aku mencintainya. Mengalir begitu saja"
Salwa: "Kau serius dengannya?"
Aku: "Berusaha serius walaupun dia cuek, sibuk dan begitu menyebalkan"
Salwa: "Lalu jika kalian berdua dipersatukan dalam sebuah ikatan suci bertemakan pernikahan, bagaimana?
Aku: "Dia harus ikut agamaku"
Salwa: "Kau egois sekali"
Aku: "Aku berpegang teguh pada agamaku, apa itu salah?"
Salwa: "Entahlah"
Aku: "Lalu bagaimana denganmu? Hubunganmu dengan si British itu?"
Salwa: "Aku mencintainya, sama seperti kau mencintai si Protestan itu"
Aku: "Cinta memang tak memandang agama, tapi kadang cinta gagal menyatukan agama walau mereka saling jatuh cinta."
Salwa: "Oh serumit itukah?"
Aku: "Memangnya kapan sebuah cinta bisa menjadi sederhana?"
Salwa: "Terang tidak dapat bersatu dengan gelap, seperti air dan api. Mereka tak dapat saling menggantikan dan melengkapi."
Aku: "Padahal, jika kita jatuh cinta, agama punya salah apa?"
Salwa: "Setahuku, dalam cinta tidak ada yang salah. Cuma soal waktu dan keadaan saja"
Aku: "Kalau kau tidak bisa mencintai Tuhan-nya, maka kau tak bisa mencintai dia."
Salwa: "Tidak ada istilah Tuhan-ku dan Tuhan-nya. Tuhan itu satu. Dia Esa."
Aku: "Tuhan memang satu, hanya manusia dan ciptaanNya saja yang berbeda"
Salwa: "Selama ini, kupikir dia yang terbaik"
Aku: "Kau hanya berpikir, belum mengetahui bagaimana realitasnya"
Salwa: "Kau serius dengannya?"
Aku: "Sejauh ini sih, iya"
Salwa: "Untuk dipersatukan dalam ikatan suci dihadapan Tuhan?"
Aku: "Ah.. Entahlah.."
Salwa: "Sebenarnya apa yang salah dari mencintai seseorang yang tempat ibadahnya berbeda dengan kita?"
Aku: "Aku belum berpikir sejauh itu. Lalu, apa agama si British itu?"
Salwa: "Muslim. Sama sepertiku."

Sabtu, 19 Januari 2013

Cinta Pertama, Kau Kah Itu? (bagian 6/end)

Lama setelah itu

"Andru?" tanyaku sore itu di sebuah cafe bernama Cafe Semesta. Tidak ramai seperti biasanya. Gerimis menemani senja kala itu. Andru hanya bergumam terus menunduk kopi hitamnya yang mulai dingin.

Karena ia tidak merespon, aku melanjutkan kalimatku "sudah 6 bulan yang lalu sejak pertemuan kita pertama kali........" aku menggantungkan kalimatku. Andru tidak merespon.

Aku membuang pandangan kearah jendela, melihat lalu lalang kendaraan. Aku lelah. Aku merasa menunggu sebuah hal yang takkan mungkin terjadi. Mungkin hanya aku yang salah mengartikannya.

"Mengapa sejak 2 bulan terakhir ini... kau menjauhiku Ndru?" aku melontarkan pertanyaan yang sedari tadi terkunci dalam mulutku.

Ia menghela nafas panjang. "Aku......... cuma...... takut Car" jawabnya lemah.

"Tapi kenapa Ndru? Kamu selalu menghindariku. Seolah-olah kita nggak pernah kenal dan nggak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Aku capek Ndru menghadapi sifat kamu yang sekarang. Aku kangen Andru yang dulu"  ucapku yang mulai terisak pelan

"Maafin aku Car. Jangan nangisin aku. Aku nggak pantes kamu tangisin kayak gini" ujarnya menghapus airmataku yang perlahan mulai jatuh.

"Mungkin aku bukan siapa-siapamu Ndru. Mungkin aku cuma sebatas teman di mata kamu. Tapi perlu kamu tau satu hal, aku menganggap kamu lebih dari semua itu. Kamu segalanya buat aku Ndru. Tolong kamu ngerti" jelasku yang masih sesengukan.

Andru menatapku. Aku menangkap gurat-gurat kesedihan terpancar disana "Carissa..........." aku membiarkannya melanjutkan "Aku...... aku menghindari kamu.... karena aku takut kamu jatuh cinta sama aku dan..... dan aku nggak mau memberi harapan ke kamu........"

"Tapi kamu yang bikin aku jatuh cinta sama kamu! Kenapa kamu ngasih harapan dan perhatian itu ke aku Ndru?!" ujarku setengah berteriak

Mata hazelnya menatap bola mata hitamku. Tangan halusnya menyentuh pipi tembamku yang dialiri oleh airmata "Karena....... karena aku terlanjur sayang sama kamu Car.. Maafin aku.."

"Andru.... kamu tau rasanya menunggu sesuatu yang tidak pasti? Sama halnya kayak aku nunggu harapan yang pasti dari kamu. Seseorang yang aku gila karenanya. Kamu itu candu bagi aku Ndru.... Karena cuma kamu yang berotasi dalam otakku, mengganggu laju kerja pikiranku, mengalir lembut bersama hemoglobin dalam nadi menuju labirin-labirin hatikku." Aku menatap matanya.

Ia beringsut memelukku erat "Dan karena cuma kamu satu-satunya yang bisa mengetuk pintu hatiku setelah aku jatuh dan menguncinya rapat-rapat" lanjutku.

"Demikian aku mencintaimu sepenuhnya, Carissa Sebastian Atmadja" bisik Andru lirih. Aku memeluknya lebih erat.

Hujan dikala senja itu tak terasa lagi dingin. Aku mendengar setiap detak jantungnya, yang menjadi sebuah ritme yang indah dalam hidupku. Tuhan, aku mencintainya.